:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1706650/original/041503500_1505121751-Biji-Kopi11.jpg)
Menurut Wiliam H. Ukers dalam bukunya All
About Coffe (1922) kata “kopi” mulai masuk ke dalam bahasa-bahasa
Eropa sekitar tahun 1600-an. Kata tersebut diadaptasi dari bahasa Arab “qahwa”.
Mungkin tidak langsung dari istilah Arab tetapi melalui istilah Turki “kahveh”.
Perlu diketahui, di Arab sendiri
istilah “qahwa” tidak ditujukan untuk nama tanaman, tetapi
merujuk pada nama minuman. Para ahli meyakini kata “qahwa” digunakan
untuk menyebut minuman yang terbuat dari biji yang diseduh dengan air panas.
Ada juga pendapat lain yang mengatakan qahwa awalnya merujuk
pada salah satu jenis minuman dari anggur (wine).
Masih menurut Ukers, asal-usul kata “kopi”
secara ilmiah mulai dibicarakan dalam Symposium on The Etymology of The
Word Coffee pada tahun 1909. Dalam simposium ini secara umum kata
“kopi” disepakati merujuk pada istilah dalam bahasa arab “qahwa”,
yang mengandung arti “kuat”.
Ada juga pihak yang menyangkal istilah kopi
diambil dari bahasa Arab. Menurut mereka istilah kopi berasal dari bahasa
tempat tanaman kopi berasal yakni Abyssinia. Diadaptasi dari kata “kaffa” nama
sebuah kota di daerah Shoa, di Selatan Barat Daya Abissynia. Namun anggapan ini
terbantahkan karena tidak didukung bukti kuat. Bukti lain menunjukkan di kota
tersebut buah kopi disebut dengan nama lain yakni “bun”. Dalam
catatan-catatan Arab “bun” atau “bunn”digunakan
untuk menyebut biji kopi bukan minuman.
Dari bahasa Arab istilah “qahwa” diadaptasi
ke dalam bahasa lainnya seperti seperti bahasa Turki “kahve”,
bahasa Belanda “koffie”, bahasa Perancis “cafĂ©”, bahasa
Italia “caffè”, bahasa Inggris “coffee”, bahasa
Cina “kia-fey”, bahasa Jepang “kehi”, dan bahasa
melayu “kawa”. Pada faktanya hampir semua istilah untuk kopi di
berbagai bahasa memiliki kesamaan bunyi dengan istilah Arab.
Khusus untuk kasus Indonesia, besar
kemungkinan kata “kopi” diadaptasi dari istilah Arab melalui bahasa
Belanda “koffie”. Dugaan yang logis karena Belanda yang pertama
kali membuka perkebunan kopi di Indonesia. Tapi tidak menutup kemungkinan kata
tersebut diadaptasi langsung dari bahasa Arab atau Turki. Mengingat banyak
pihak di Indonesia yang memiliki hubungan dengan bangsa Arab sebelum
orang-orang Eropa datang.
KOPI MASUK KE INDONESIA
Dalam sejarah, kopi di Indonesia sudah
melewati perjalanan panjang dari awal masuk hingga tersebar di penjuru
nusantara. Beberapa literatur tua dan artikel-artikel yang telah lebih dulu
mengulas tentang sejarah masuknya kopi ke Bumi Pertiwi menyebutkan bahwa pada
tahun 1696 Pemerintah Belanda membawa kopi dari Malabar, sebuah kota di India,
ke Indonesia melalui Pulau Jawa.
Alur tersebut tertulis di salah satu arsip
dari kongsi dagang/persekutuan dagang dari Pemerintah Hindia Timur Belanda,
yang lebih dikenal dengan nama VOC (Vereenigde Oostindische
Compagnie). Di tahun 1707, Gubernur Van Hoorn mendistribusikan bibit kopi
ke Batavia, Cirebon, kawasan Priangan serta wilayah pesisir utara Pulau Jawa.
Tanaman baru ini akhirnya berhasil dibudidayakan di Jawa sejak 1714-1715.
Sekitar 9 tahun kemudian, produksi kopi di Indonesia sudah begitu melimpah dan
mampu mendominasi pasar dunia. Bahkan pada saat itu jumlah ekspor kopi dari
Jawa ke Eropa telah melebihi jumlah ekspor kopi dari Mocha (Yaman) ke Eropa.
Tak hanya itu, jika kita menggunakan
literatur sebagai salah satu sumber untuk menyusuri alur sejarah kopi di
Indonesia, kita pun dapat menemukan referensi tentang perjalanan kopi di dalam
“Serat Centhini; Tembangraras-Amongrogo”. Dari karya sastra kuno fenomenal ini,
kita akan menemukan implikasi yang menunjukkan masuknya kopi ke Indonesia
melalui Jatinegara, lalu tersebar ke Tanah Priangan (Jawa Barat), hingga
akhirnya penanaman kopi dapat ditemukan di hampir seluruh wilayah Indonesia
mulai dari Sumatera, seluruh pulau Jawa, Bali, Sulawesi, Flores hingga Papua.
Jejak perkembangan tanaman kopi di tanah
air terus berlanjut hingga bertahun-tahun setelahnya. Eduard Doues Dekker turut
mengulas mengenai tekanan yang dialami oleh petani kopi dalam tulisannya, “Max
Havelaar and the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company”. Karya Doues
Dekker ini ikut berperan dalam membantu mengubah opini publik tentang cultivate
system.
Lalu di tahun 1920-an,
perusahaan-perusahaan kecil-menengah yang ada di Indonesia mulai menanam kopi
sebagai komoditas utama dan perkebunan-perkebunan kopi eks-pemerintah kolonial
Belanda yang sebagian besar berada di Pulau Jawa dinasionalisasi. Secara perlahan
dan teratur, Indonesia bertransformasi menjadi sentra produksi kopi terbesar di
dunia. Bahkan saat ini, salah satu kota yang berada di bagian utara dari Pulau
Sumatera, tepatnya Dataran Tinggi Gayo yang berada di Aceh meneguhkan posisinya
sebagai sentra produksi kopi arabika dengan areal lahan paling luas se-Asia.
Rentetan kronologis sejarah tersebut jika
kita telusuri sedikit demi sedikit hingga akhir abad 20 (1900-an) merupakan
satu dasar kuat yang meletakkan Indonesia di posisi saat ini di dunia internasional
lewat produksi komoditas kopi. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara
penghasil kopi terbesar keempat di dunia setelah Brazil, Vietnam dan Kolombia,
dan dikenal juga sebagai negara yang menjadi referensi produksi kopi
berkualitas baik.